Batu Bara Bergerak Datar dengan Bias Melemah, Tiongkok dan Tekanan Kebijakan Membayangi

• Kontrak LQF26 (Januari 2026) bertahan di 106,60 tanpa perubahan, mencerminkan pasar yang masih berhati-hati dengan volume transaksi terbatas.
• Sentimen Tiongkok melemah, tercermin dari tekanan di pasar batu bara kokas dan penurunan impor thermal sekitar 14% (yoy) sepanjang 2025.
• Tekanan struktural berlapis, mulai dari risiko subsidi proyek DME, denda tambang di kawasan hutan, hingga potensi tambahan pasokan global dari ekspor India.

Harga kontrak batu bara bergerak relatif datar, meski bias melemah masih terasa. Kontrak LQZ25 (Desember 2025) tercatat di 108,50 dari penutupan Rabu (11/12), turun 0,25 poin, setelah bergerak dalam rentang 106,40-108,50. Tipisnya volume transaksi mencerminkan sikap pasar yang memilih berhati-hati sambil menunggu pemicu baru.

Pada saat yang sama, kontrak LQF26 (Januari 2026) bergerak stagnan di 106,60 pada Jumat (12/12), tanpa perubahan dari sesi sebelumnya. Rentang pergerakan yang sempit pada kedua kontrak menegaskan bahwa pasar belum menemukan arah yang meyakinkan, baik dari sisi permintaan regional maupun sentimen energi global.

Tekanan sebenarnya telah terbentuk sejak pekan lalu, ketika sentimen dari Tiongkok memburuk. Kekhawatiran terhadap permintaan kembali mengemuka seiring tanda-tanda perlambatan aktivitas industri yang belum menunjukkan pemulihan konsisten. Kondisi ini diperparah oleh lemahnya pasar batu bara kokas domestik Tiongkok, di mana pelaku pasar menahan transaksi akibat ketidakpastian kebijakan industri dan prospek permintaan jangka pendek. Sepanjang 2025, impor batu bara thermal Tiongkok dilaporkan turun sekitar 14% (yoy), ditekan produksi domestik yang kuat dan ekspansi energi terbarukan.

Dari dalam negeri, sentimen batu bara turut dibayangi perdebatan keekonomian proyek DME. Mengutip Bloomberg Technoz, Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi memprakirakan gasifikasi batu bara menjadi DME berpotensi membutuhkan subsidi hingga Rp147 triliun per tahun, atau tambahan Rp57-Rp60 triliun dari subsidi LPG 3 Kg saat ini. Tingginya biaya produksi dinilai membuat pengalihan subsidi LPG ke DME sulit dilakukan tanpa lonjakan anggaran, sehingga DME lebih realistis diposisikan sebagai pelengkap, bukan pengganti LPG, hingga proyek mencapai skala dan efisiensi yang matang.

Tekanan struktural juga datang dari sisi regulasi. Pemerintah Indonesia akan mulai memberlakukan denda administratif bagi tambang yang beroperasi di kawasan hutan mulai Desember 2025. Sanksi ditetapkan berdasarkan jenis komoditas dan luas area, dengan batu bara termasuk yang dikenai tarif tinggi. Kebijakan ini diprakirakan menambah beban biaya operasional bagi sebagian pelaku usaha dan berpotensi memengaruhi keputusan investasi serta produksi ke depan, meski dinilai penting untuk memperkuat kepatuhan dan perlindungan lingkungan.

Sementara itu, dari sisi global, India membuka keran ekspor batu bara setelah kabinet menilai pasokan domestik berada dalam kondisi surplus. Mengacu laporan Reuters Jumat lalu, pembangkit listrik diizinkan mengekspor hingga 50% dari alokasi batu baranya, seiring produksi yang kuat dan melambatnya pertumbuhan permintaan listrik. Langkah ini berpotensi menambah pasokan di pasar global dan menguntungkan Coal India, sekaligus mempertebal tekanan pasokan di tengah permintaan yang belum sepenuhnya pulih.