Rupiah Melemah Tipis di Awal Pekan, Pasar Waspadai Dampak Perang Dagang AS-Tiongkok
|- Rupiah turun 0,14% ke Rp16.568 menjelang sesi Eropa, volatilitas terbatas di kisaran Rp16.550-Rp16.605.
- Arus masuk asing mencapai Rp6,43 triliun, sementara yield SBN 10 tahun turun ke 6,07% pada Jumat.
- Ketegangan AS-Tiongkok, shutdown pemerintah AS, dan ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed masih menjadi katalis utama pasar.
Pada awal pekan, rupiah (IDR) bergerak melemah tipis di posisi Rp16.568 per dolar AS (USD) pada Senin menjelang sesi Eropa, turun 0,14% atau 23 poin dibanding penutupan sebelumnya. Kurs sempat berfluktuasi di rentang Rp16.550-Rp16.605, mencerminkan pasar yang cenderung berhati-hati menyikapi meningkatnya tensi perdagangan antara AS dan Tiongkok. Secara teknis rupiah masih berada dalam fase konsolidasi setelah sempat menyentuh level terlemah di atas Rp16.700 pada akhir September, dengan proyeksi harian USD/IDR di kisaran 16.550-16.650.
Sementara itu, indeks dolar AS (DXY) bergerak melemah tipis ke 98,87, dengan rentang harian 98,83-99,13, menandakan pasar tengah beristirahat setelah mendekati area resistance 99,10-99,20 pada akhir pekan lalu.
Arus Modal Asing Kembali Masuk Rp6,43 Triliun di Minggu Kedua Oktober
Bank Indonesia melaporkan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun pada Jumat turun ke 6,07%, menandakan permintaan yang tetap solid terhadap aset rupiah. Dari sisi aliran modal, investor asing mencatat net inflow Rp6,43 triliun pada minggu kedua Oktober, terdiri dari pembelian di pasar SBN Rp5,14 triliun dan saham Rp2,48 triliun, sementara terjadi penjualan Rp1,19 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Secara kumulatif, posisi asing sepanjang 2025 masih menunjukkan jual bersih di saham (Rp53,45 triliun) dan SRBI (Rp132 triliun), dengan satu-satunya penopang positif berasal dari pembelian bersih SBN Rp26,46 triliun hingga 9 Oktober. Sementara itu, premi Credit Default Swap (CDS) 5 tahun naik tipis ke 78,37 bps, menandakan kewaspadaan pasar yang meningkat namun masih dalam zona stabil.
Eskalasi Baru Perang Dagang AS-Tiongkok Membayangi
Fokus pasar kini tertuju pada pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia di Washington, yang dibayangi oleh eskalasi baru perang dagang AS-Tiongkok. Presiden Donald Trump mengancam menerapkan tarif 100% terhadap impor dari Tiongkok mulai 1 November 2025, sebagai respons atas langkah Beijing memperluas kontrol ekspor logam tanah jarang.
Menanggapi hal itu, Kementerian Perdagangan Tiongkok menegaskan bahwa ancaman tarif tinggi bukanlah cara tepat menjalin hubungan bilateral, seraya menegaskan bahwa Tiongkok tidak menginginkan konflik, namun juga tidak takut menghadapinya. Kendati Trump berusaha meredakan tensi lewat unggahan di Truth Social – menegaskan bahwa Amerika Serikat tidak berniat merugikan ekonomi Tiongkok – pasar tetap diliputi ketidakpastian mengenai pertemuan Trump-Xi Jinping yang direncanakan berlangsung akhir tahun ini, dengan keraguan apakah dialog tersebut benar-benar akan membuka jalan bagi perbaikan hubungan dagang kedua negara.
Menurut Bloomberg Economics, rencana tarif 100% tersebut dapat mendorong beban efektif impor Tiongkok hingga 140%, level yang berpotensi mematikan arus perdagangan global dan memperbesar risiko tekanan bagi negara berkembang, termasuk Indonesia.
Shutdown AS Berlanjut, Pasar Antisipasi Pemangkasan The Fed dan Rupiah Bergerak Konsolidatif
Sementara itu, shutdown pemerintah AS masih berlanjut ke minggu ketiga karena kebuntuan pendanaan di Kongres, dengan Senat baru dijadwalkan bersidang pada Selasa sore. Presiden Trump menuding Demokrat sebagai penyebab pemberhentian ribuan pegawai federal yang telah mulai menerima pemberitahuan sejak Jumat.
Di sisi lain, pasar kini membangun ekspektasi kuat terhadap pelonggaran kebijakan moneter AS. Berdasarkan FedWatch CME, peluang pemangkasan suku bunga The Fed sebesar 25 bps mencapai 96% untuk Oktober dan 85,5% untuk Desember, mencerminkan keyakinan investor bahwa The Fed akan melonggarkan kebijakan dua kali berturut-turut guna menjaga momentum pertumbuhan di tengah tekanan fiskal dan geopolitik.
Dengan kombinasi tekanan eksternal yang meningkat, aliran dana asing yang mulai stabil, dan ekspektasi pelonggaran The Fed, rupiah diperkirakan masih akan bergerak konsolidatif dalam jangka pendek. Arah selanjutnya akan sangat ditentukan oleh kejelasan hubungan dagang AS–Tiongkok dan respons kebijakan Bank Indonesia terhadap dinamika global yang semakin kompleks.
Pertanyaan Umum Seputar PERANG DAGANG AS-TIONGKOK
Secara umum, perang dagang adalah konflik ekonomi antara dua negara atau lebih akibat proteksionisme yang ekstrem di satu sisi. Ini mengimplikasikan penciptaan hambatan perdagangan, seperti tarif, yang mengakibatkan hambatan balasan, meningkatnya biaya impor, dan dengan demikian biaya hidup.
Konflik ekonomi antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok dimulai pada awal 2018, ketika Presiden Donald Trump menetapkan hambatan perdagangan terhadap Tiongkok, mengklaim praktik komersial yang tidak adil dan pencurian kekayaan intelektual dari raksasa Asia tersebut. Tiongkok mengambil tindakan balasan, memberlakukan tarif pada berbagai barang AS, seperti mobil dan kedelai. Ketegangan meningkat hingga kedua negara menandatangani kesepakatan perdagangan AS-Tiongkok Fase Satu pada Januari 2020. Perjanjian tersebut mengharuskan reformasi struktural dan perubahan lain pada rezim ekonomi dan perdagangan Tiongkok serta berpura-pura mengembalikan stabilitas dan kepercayaan antara kedua negara. Pandemi Coronavirus mengalihkan fokus dari konflik tersebut. Namun, perlu dicatat bahwa Presiden Joe Biden, yang menjabat setelah Trump, mempertahankan tarif yang ada dan bahkan menambahkan beberapa pungutan lainnya.
Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih sebagai Presiden AS ke-47 telah memicu gelombang ketegangan baru antara kedua negara. Selama kampanye pemilu 2024, Trump berjanji untuk memberlakukan tarif 60% terhadap Tiongkok begitu ia kembali menjabat, yang ia lakukan pada tanggal 20 Januari 2025. Perang dagang AS-Tiongkok dimaksudkan untuk dilanjutkan dari titik terakhir, dengan kebijakan balas-membalas yang mempengaruhi lanskap ekonomi global di tengah gangguan dalam rantai pasokan global, yang mengakibatkan pengurangan belanja, terutama investasi, dan secara langsung berdampak pada inflasi Indeks Harga Konsumen.
Informasi di halaman ini berisi pernyataan berwawasan ke depan yang melibatkan risiko dan ketidakpastian. Pasar dan instrumen yang diprofilkan di halaman ini hanya untuk tujuan informasi dan tidak boleh dianggap sebagai rekomendasi untuk membeli atau menjual aset ini. Anda harus melakukan riset menyeluruh sebelum membuat keputusan investasi apa pun. FXStreet sama sekali tidak menjamin bahwa informasi ini bebas dari kesalahan, kekeliruan, atau salah saji material. Ini juga tidak menjamin bahwa informasi ini bersifat tepat waktu. Berinvestasi di Pasar Terbuka melibatkan banyak risiko, termasuk kehilangan semua atau sebagian dari investasi Anda, serta tekanan emosional. Semua risiko, kerugian, dan biaya yang terkait dengan investasi, termasuk kerugian pokok, adalah tanggung jawab Anda. Pandangan dan pendapat yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi atau posisi FXStreet maupun pengiklannya.